Sudah enam tahun Muhammad hijrah. Masa-masa yang
sangat sulit telah terlampaui. Kini tibalah bulan suci. Pada masa-masa seperti
itu, masyarakat Arab dari berbagai pelosok, umumnya berdatangan untuk berziarah
ke ka'bah. Sudah menjadi kesepakatan, kaum Qurais di Mekah harus menerima
siapapun yang akan berkunjung. Seluruh perselisihan pada bulan haji itu harus
dihentikan. Menumpahkan darah, dengan alasan apapun, diharamkan.
Perasaan rindu pada ka'bah mulai mengusik hati Muhammad dan orang-orang
Islam. Ke sanalah setiap hari mereka menghadapkan wajah untuk bersujud pada
Allah Sang Pencipta. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk mewujudkan kerinduan
itu. Maka, Muhammad pun mengumumkan rencananya untuk pergi ke Mekah berziarah ke
ka'bah.
Sekitar seribu empat ratus orang menemani Sang Rasul menempuh
perjalanan itu. Mereka tidak membawa baju zirah atau perlengkapan perang apapun.
Mereka mengenakan baju ihram putih, dan hanya membawa pedang bersarung
-perlengkapan dasar orang Arab waktu itu setiap bepergian. Rasul juga membawa 70
unta korban. Peristiwa tersebut diperkirakan terjadi pada Maret, 628 Masehi.
Perjalanan berlangsung lancar hingga mendekati Mekah. Di Hudaibiya, unta
Muhammad yang diberinya nama Al-Qashwa, pun berhenti dan berlutut. Muhammad
memutuskan rombongan untuk beristirahat di situ. Pihak Qurais yang telah
mendengar kabar perjalanan tersebut menjadi bingung bukan kepalang. Menyerang
rombongan Muhammad berarti melanggar kesepakatan adat. Hal demikian akan membuat
Qurais dimusuhi oleh semua golongan Arab. Apalagi mereka tahu, Muhammad datang
untuk menunaikan ibadah dan bukan berperang. Namun mereka juga khawatir bila
Muhammad tiba-tiba menyerang Mekah.
Qurais pun menyiapkan pasukan tempur
di bawah pimpinan Khalid bin Walid yang saat itu masih kafir. Khalid adalah
petempur muda yang sangat disegani kawan maupun lawan. Karena kecerdikannya,
umat Islam mengalami kekalahan di Perang Uhud. Selain itu, mereka juga mengirim
utusan menemui Muhammad untuk mengetahui maksud sebenarnya rombongan tersebut.
Sebaliknya, Muhammad juga mengirim Usman bin Affan untuk menemui Abu Sofyan di
Mekah. Usman menegaskan bahwa rombongan dari Madinah hanya akan beribadah ke
ka'bah, lalu kembali ke Madinah.
Suasana sempat tegang ketika Usman tak
kunjung kembali. Kaum muslimin sampai perlu membuat ikrar Rizwan -siap mati
bersama untuk menyelamatkan Usman. Syukurlah, itu tak terjadi. Abu Sofyan lalu
mengutus Suhail bin Amir untuk berunding dengan Muhammad.
Perundingan
dilakukan. Suhail tampak keras untuk memaksakan pendapatnya mengenai isi
kesepakatan. Bahkan ia mengedit kalimat demi kalimat yang disusun pihak Muslim.
Misalnya terhadap penulisan "Bismillahir-Rahmanir-Rahim" (Dengan nama Allah yang
Pengasih dan Penyayang) di awal perjanjian. Suhail memaksakannya mengubah
menjadi "Bismikallahumma" (Dengan nama-Mu ya Allah). Ia juga menolak pemakaian
istilah "Muhammad Rasululllah" dan menggantinya dengan "Muhammad bin Abdullah."
Demikian pula tentang isi perjanjian. Di antaranya adalah bahwa saat itu
umat Islam harus kembali ke Madinah. Mereka diizinkan untuk berziarah pada tahun
depan. Selain itu, jika akan orang-orang Mekah lari ke Madinah (untuk masuk
Islam), pihak Muhammad harus menolaknya sehinga yang bersangkutan kembali ke
Mekah. Sebaliknya, bila ada orang Madinah yang lari untuk bergabung dengan
Qurais di Mekah, orang-orang Qurais tidak berkewajiban mengembalikannya.
Perjanjian tersebut mengikat seluruh warga Mekah dan Madinah. Juga mengikat Bani
Bakar yang berpihak pada kubu Mekah, serta Bani Khuza'a yang berpihak pada kubu
Madinah.
Muhammad tampak mengalah dalam perjanjian itu. Hal demikian
membuat gusar kaum muslimin lainnya. Umar yang paling tidak sabar. Ia menemui
Abu Bakar. "Abu Bakar, bukankah dia Rasulullah. Bukankah kita ini Muslimin?
Mengapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?". Umar bahkan menyampaikan
itu langsung pada Muhammad. Muhammad dengan sabar mendengarkan Umar. Namun ia
kemudian menutup pembicaraan dengan kalimat: "Saya hamba Allah dan Rasul-Nya.
Saya tak akan melanggar perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyesatkan saya."
Rombongan kemudian kembali Madinah. Muhammad memang mengalah dalam perjanjian
Hudaibiya itu. Tapi sebenarnya, ia baru memperoleh kemenangan besar. Untuk
pertama kalinya kaum Qurais mengakui keberadaan Islam secara resmi, dan mereka
juga tak dapat lagi menolak umat Islam untuk berkunjung ke ka'bah tahun
depannya. Muhammad telah mengalihkan bentuk perjuangannya dari perjuangan
bersenjata ke perjuangan politik.
0 komentar:
Posting Komentar