Sebut
saja diriku Ayesha. Aku adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Mereka semua
adalah laki-laki kecuali aku. Ayahku telah meninggal dunia ketika aku berusia
lima tahun. Kehidupan kami semakin sulit setelah ditinggal mati oleh ayah. Ibuku
adalah wanita hebat yang tak henti-hentinya beliau melimpahkan kasih sayangnya
kepada kami. Ada hal yang tak akan pernah bisa kulupakan yakni ''ibuku telah
membohongiku delapan kali".
Waktu
terus berjalan, Beban kehidupan yang kami tanggung semakin sulit. Bagi kami ibu
adalah wanita yang perkasa. Setelah kematian ayah, peran ibu bukanlah sekedar
menjadi seorang ibu melainkan peran seorang ayahpun kini telah beliau pegang.
Bukan hanya itu, saudaraku terpaksa harus berhenti sekolah dan melupakan
cita-citanya demi untuk membantu ibu bekerja. Disetiap pagi yang dingin ibu dan
kakakku harus pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar kemudian menjualnya ke pasar.
Kadang kami pergi ke sungai untuk memancing ikan, maklum kami tidak mampu untuk
membeli ikan. Sesampainya di rumah ibu memasakkan ikan yang lezat. Dan dengan
penuh kerukunan kami makan bersama. Ketika kami makan bersama tak jarang aku
meminta bagian yang lebih dari saudara-saudaraku.
''Makanlah
Anakku, hanya ini yang bisa ibu berikan kepada kalian''. kata ibu dengan wajah
penuh penyesalan.
''Ibu,aku
masih lapar''. rengekku.
Dengan
kasih sayang ibu menyodorkan piringnya sambil berkata, ''wahai Anakku, makanlah
ini, ibu tidak lapar''.
(itulah
kebohongan yang pertama)
Digubuk
yang sederhana ini, kami hanya memiliki satu tikar untuk tiga orang. Lalu dimana
ibu tidur? sering kali aku melihat ibu tidur sambil duduk bersandar di jendela.
Kemudian salah satu kakakku mengetahui akan hal itu, dan ia membangunkannya, ia
meminta ibu untuk tidur ditempatnya akan tetapi ibu menolaknya dengan berkata ''tidurlah
anakku, ibu tidak mengantuk.
(itulah
kebohongan kedua ibuku)
Kami
sangat bersyukur memiliki tetangga seperti penduduk disekitar rumah. Tak jarang
mereka membantu kami yang dalam keadaan serba kekurangan. Mereka juga meminta
ibu untuk menikah lagi agar dapat meringankan beban hidup kami. Akan tetapi ibu
menolaknya dengan berkata, “sudahlah, aku tidak membutuhkan semua itu”.
(itulah
kebohongan ketiga ibuku)
Hari
begitu cepat berlalu. Setiap hari ibu selalu menyibukkan dirinya dengan bekerja
keras sampai akhirnya kakakku mampu melanjutkan sekolahnya walaupun dengan
bekerja. Saat ini aku telah duduk dibangku madrasah ibtidaiyah. Semua pekerjaan
yang mampu ibu lakukan beliau kerjakan dengan giat demi kelangsungan hidup
kami. Suatu ketika ibuku datang dari bekerja dengan keletihan yang amat sangat,
akan tetapi ibu tidak peduli dengan semua itu, ibu lebih mengutamakan kami. Ibu
lalu bergegas menuju dapur untuk memasak makanan untuk kami.
“ibu!
Sudah Bu, Ibu istirahat saja, kami tidak lapar”, kami berkata kepadanya.
''Tidak,
tidak apa-apa, ibu tidak capek'', dengan menyungging senyum ibu berjalan
mendekati kami.
(Itulah
kebohongan keempat yang dilakukan oleh ibu)
Kini
usiaku telah menginjak dewasa seusai lulus dari madrasah aliyah aku berencana
melanjutkan sekolahku ke universitas dengan cara mencari beasiswa dikota. dan
ketika aku hendak pergi ke kota untuk melakukan tes, ibu memintaku untuk bisa
ikut menemaniku ke kota. Sebenarnya aku tidak menginginkan hal itu. Akhirnya
pagi-pagi sekali kamipun berangkat bersama dengan berjalan kaki. Dalam hati aku
tidak tega melihat ibu berjalan kaki. Jarak yang ditempuh sangatlah jauh, dengan
penuh kepayahan akhirnya kamipun sampai di kota.
“Ya Allah
betapa indah dan megah bangunannya”, tak henti-hentinya hati ini bertasbih akan
keindahan dan kemegahan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi itu. Lalu aku
bergegas masuk ke ruang tes. Sedangkan ibu berdiri diluar sana. Sesekali aku
memandang keluar memastikan keadaan ibu, disana aku melihat ibu berdiri dibawah
sengatan panas matahari. Akan tetapi dengan sabar dan tanpa mengeluh ibu tetap
berdiri disana. Aku mampu melihat pancaran kasih sayang pada wajahnya, dan dari
kejahuaan nampak ibu sedang berkomat kamit. Aku yakin pasti ibu selalu
mendoakanku.
Seusai
melakukan tes aku keluar dan bergegas menuju kearah ibu. Dengan ketulusan ibu
menyodorkan segelas air minum kepadaku. Tetapi aku menolaknya, karena aku tahu
sesungguhnya ibu sangatlah letih, haus dan penat karena telah menungguku lama. Lalu
aku memberikan segelas air minum itu kepada beliau. Namun ibu menolaknya dan
berkata kepadaku, ''minumlah Nak……ibu tidak haus''.
(itulah kebohongan kelima yang dilakukan oleh
ibuku)
Berhari-hari
aku menunggu pengumuman hasil tes. Dan Alhamdulillah, ternyata aku lolos
seleksi. Akhirnya aku menimba ilmu di Fakultas tersebut. Tetapi semua itu tidak
tanpa syarat. Aku harus tinggal di asrama. Persyaratan-persyaratan itu mungkin sangatlah
mudah bagi mahasiswa seperti aku. Tapi dalam keadaaan seperti aku sedikit
keberatan dengan hal itu, karena aku tidak ingin meninggalkan ibu di rumah. Disisi
lain aku juga ingin menggapai cita-citaku.
“Ingat Ayesya, cita-citamu yang utama”.
''Berangkatlah Nak… Ibu bahagia disini”
(itulah kebohongan keenam oleh ibuku)
Waktu terus berjalan, hari demi hari ibu
menjalani kehidupannya dengan kesendirian. sering aku mengirim surat kepada ibu
bahwa aku sangat menghawatirkan beliau. Disetiap sujud selalu kutengadahkan
tangan kepadan-Nya untuk kebahagiaan ibu, yah…hanya kebahagiaan ibu yang
kupinta.
Selama ini aku tidak menyibukkan diriku hanya
dengan kuliah melainkan aku juga bekerja untuk meringankan beban ibu. Sesekali pulang
mengunjungi ibu. Ketika aku memberikan uang hasil kerjaku untuknya, dengan
tersenyum ibu berkata kepadaku, “Ayesya…ini hak mu, ini milikmu. Ibu tidak
membutuhkannya, ambillah Nak…”
(itulah kebohongan yang dilakukan ibu ketujuh
kalinya)
Suatu
hari aku mendengar kabar bahwa ibuku sedang sakit keras, aku langsug bergegas
pulang. Dan ketika sesampainya di rumah, kulihat wajah tua renta ibu. Beliau menyambutku
dengan senyuman yang selalu tersungging diwajahnya. Beliau hanya terbaring
lemah tak berdaya disebuah ranjang reot pemberian kakakku. Seakan tubuh ini tak
kuasa berdiri melihat apa yang ada di depan mata. ''Apa yang terjadi dengan
dirimu Bu…?” pekikku dalam hati. Tak terasa kristal-kristal bening membasahi
pipiku. Tak ada yang bisa ibu lakukan saat ini, hanya semburat senyuman yang
mampu beliau tunjukkan padaku. Dengan tertatih-tatih ibu berkata kepadaku,
''Ayesya anakku, tidak ada apa-apa Nak, mengapa
kamu menangis, ibu tidak sakit, ibu sehat Nak… jangan takut dan jangan
bersedih'', perkataan ibu semakin membuat batinku menjerit, aku tak mampu
mendengar keteguhan perkataan hati ibu.
Tiga hari sudah aku berada dirumah untuk
menemani ibu, setiap kali kulihat wajah ibu, seakan air mata tanpa komando
mendarat di pipiku.
“Ayesya, berangkatlah Nak…! sudah terlalu
lama kamu di rumah. Bagaimana dengan kuliahmu?'' ibu selalu mendesakku untuk
kembali ke kampus. Akhirnya aku memutuskan untuk menuruti permintaan ibu, yakni
kembali ke kota.
Hari demi hari kujalani dengan penuh
ketakutan, kekhawatiran terhadap ibu dirumah. Pikiranku campur aduk jadi satu, akhirnya
aku pasrahkan semua ini pada Allah subhanahu wata’ala.
Disuatu hari, pagi-pagi sekali aku dikejutkan
oleh kehadiran kakakku di asrama. Kakak memintaku untuk secepatnya pulang. Aku
bingung mengapa tiba-tiba kakak memintaku pulang. Apa yang terjadi di rumah.
Tanpa berpikir panjang aku langsung menuruti permintaan kakak.
Ketika sampai di pintu seakan kakiku sulit
untuk dilangkahkan. Seluruh tubuhku kaku. Rasanya aku ingin menjerit sekeras
kerasnya. Tapi entah mengapa bibir ini tak mampu berkata apa apa. Seperti ribuan
plaster menempel di mulutku.
Mataku tertuju kearah yang sejak tadi
membuatku tercengang. Sebujur tubuh kaku tak bergerak terlentang disana, itu
adalah jasad ibuku, yaah…itulah ibuku. Ibu telah meninggalkanku untuk
selamanya. Kupandang wajah pucat putih itu. Seakan bibir itu berkata padaku, “Ayesya…
ibu selalu disampingmu''. Rasanya ribuan es batu dijatuhkan tepat di atas
kepalaku, sakit sekali.
“Ibu
aku mencintaimu karena Allah, yaah..hanya karena Allah, terima kasih Ya Allah.
Sungguh beruntung engkau telah memberiku seorang ibu sepertinya. Tuhan sampaikan
salamku kepadanya''
By : Fatihul Anwar El Fath.
0 komentar:
Posting Komentar