Esensinya, tasawuf itu sudah ada pada
masa Rasulullah Saw. Namun pada masa tersebut belum dikenal istilah tasawuf.
Yang dikenal pada masa tersebut adalah para Shahabat sebagai pengikut
Nabi, kemudian para pengikut Shahabat yang dikenal dengan istilah Tabi’in,
begitu pula seterusnya. Menurut R. A. Nicholson bahwa istilah tasawuf muncul
dan baru dimulai pada pertengahan abad III H. oleh Abu Hasyim al-Kufy (w. 250
H) dengan meletakkan al-sufi dibelakang namanya. Nicholson juga
mengatakan bahwa ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud, wara’, tawakkal, dan
dalam mahabbah, namun dia adalah yang pertama kali diberi nama al-sufi.[1]
Sebagaimana yang telah diajarkan Nabi,
beliau menampilkan dua aspek dalam kehidupan beragama. Yakni aspek eksoteris
(lahiriah) dan aspek esoteris(batiniah)[2]. Pertama,
dari aspek eksoteris meliputi ibadah dalam pelaksanaan syariat Islam, seperti
kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, dan jihad fi sabilillah[3].
Aspek ini lebih cenderung pada hal-hal yang bersentuhan dengan keduniaan.
Semisal dalam hubungan sosial kemasyarakatan.
Kedua, dari aspek
esoteris. Yang dalam Islam disebut dengan tasawuf mengajarkan perbuatan hati,
seperti sabar, ikhlas, sederhana, jujur, adil, dan sebagainya. Perbuatan hati
ini bersifat universal melintasi batas-batas agama[4]. Disadari atau tidak, selama ini orang-orang
lebih mementingkan aspek eksetoris dari pada aspek esoteris karena penyiaran
agama selama ini acap kali menekankan
aspek eksetoris.
Untuk menyeimbangkannya, orang perlu
bertasawuf. Dalam artian, perlu memandang tasawuf supaya tidak berpuas diri
dengan aspek eksetoris ibadah saja. Karena, jika hanya dengan aspek ini
saja tidak cukup untuk mewujudkan Islam
yang kaffah (paripurna). Islam yang kaffah diwujudkan dengan menghayati
aspek esoteris ibadah dan pengalaman praktik tasawuf pada umumnya. Dengan
demikian, tasawuf juga dapat merukunkan orang-orang yang berbeda agama atau
aliran dalam agama.
Dari pemaparan di atas, kita akan tahu
urgensi tasawuf sebagai penyeimbang antara aspek eksoteris dan aspek esoteris
serta hubungan vertikal dengan hubungan horizontal.
[1]
M. Amin Syukur, Menggugat
Tasawuf, pustaka belajar, Yogyakarta:1999
hlm. 7
[2]
Sudirman Tebba, Tasawuf
Positif, Kencana,Bogor: 2003 hlm.
120
[3] Said Aqil Siroj, Tasawuf
Sebagai Kritik Sosial, PT Mizan Pustaka,Ciganjur :2006 hlm. 28
[4] Sudirman Tebba, Tasawuf
Positif, Kencana,Bogor: 2003 hlm.
120
0 komentar:
Posting Komentar