Langit lapang membentang kelambu kelam. Gemintang saling mengerdip. Bulan, sang
induk malam, bertengger di singgasana malam. Matanya berbinar menatap kelelapan
bumi. Jemarinya bergelora merambah setiap sudut. Sang induk malam itu sedang
bergairah memperkosa apa pun yang dijamahnya atau yang dikangkanginya.
Dan malam itu, ada panggilan bertalu-talu, menggema, membahana. Kata-kata
diulang-ulang dengan suara gregorian dan irama naik-turun layaknya pemujaan dan
sebuah persiapan upacara mempersiapkan persembahan. Suara-suara itu kian
membinarkan mata rembulan, meski tanpa pujian para srigala.
Rerimbunan pohon di tepi jalan raya lintas kota itu
adalah pengecualian bagi geliat liar sang induk malam. Rerimbunan pohon itu
telah menghadang laju kerakusannya. Rerimbunan pohon laksana pagar betis
berlaksa-laksa prajurit. Mereka sangat kokoh, tegar dan bersatu-padu menjagai
jalan raya lintas kota itu.
“Berilah aku kesempatan untuk bisa meraba jalan
itu,” pinta sang bulan.
“Tidak!” jawab pepohonan tegas.
“Tidak!” jawab pepohonan tegas.
“Ayolah. Bukankah saban malam aku mencumbui bumi?”
“Tidak boleh!”
“Ah, jangan begitu dong. Masak sih kalian lupa siapa
aku ini?”
“Justru kau sendiri yang harus menyadari siapa dirimu
dan siapa diri kami.”
“Sudahlah, nggak usah ribut soal siapa diri kita, supaya kita tak lupa diri atau bangga diri yang sebetulnya nggak perlu.”
“Sudahlah, nggak usah ribut soal siapa diri kita, supaya kita tak lupa diri atau bangga diri yang sebetulnya nggak perlu.”
“Kau tadi yang mulai! Pokoknya, tidak bisa! Kami bukan
budakmu!”
Bulan tahu bahwa sesungguhnya pepohonan itu memang bukan budak miliknya. Manusialah yang menempatkan barisan pohon itu berdiri kokoh di pinggiran jalan ketika pepohonan itu masih sangat muda. Manusia merawat dan menyiraminya. Manusia menyiangi dedaunan yang tua. Manusia memenggal cabang-cabang yang menyeruak sembarangan.
Bulan tahu bahwa sesungguhnya pepohonan itu memang bukan budak miliknya. Manusialah yang menempatkan barisan pohon itu berdiri kokoh di pinggiran jalan ketika pepohonan itu masih sangat muda. Manusia merawat dan menyiraminya. Manusia menyiangi dedaunan yang tua. Manusia memenggal cabang-cabang yang menyeruak sembarangan.
Manusialah yang menghendaki mereka berjaga-jaga
di sekitar jalan itu. Manusia menghendaki mereka bisa memayungi manusia dari
cabikan-cabikan mentari tengah hari. Manusia menghendaki mereka bisa meredam
keberingasan kendaraan. Manusia menghendaki mereka bisa memenggal kebisingan
dan menghasilkan udara bersih untuk dihirup manusia. Paru-paru suatu daerah,
begitulah. Manusia menghendaki mereka menyumbangkan daun basah untuk makanan
ternak, daun kering untuk makanan tanaman dan dahan sisa untuk memasak makanan
manusia. Manusia menghendaki mereka menjadi persinggahan unggas liar yang lepas
berkicau riang gembira atau berloncatan di antara ranting-ranting. Manusia
menghendaki mereka dapat memberi tumpangan bagi keluarga unggas itu. Dan,
manusia menghendaki mereka bisa menjadi bagian dari ornamen situs bersejarah,
kendati sekadar seutas jalan sepanjang kenangan dalam senandung manusia.
Sedangkan sang bulan? Siapa yang menempatkan dia
berkacak pinggang di angkasa kelam itu? Siapa yang langsung menitahinya untuk
menguasai malam? Bahkan, benarkah bulan itu diberi mandat menduduki tahta malam
selama berabad-abad?
“Kau teramat angkuh, Nenek tua bangka!” bentak pepohonan. “Mentang-mentang berada di atas, kau merasa dirimu di atas segalanya. Kau selalu mendikte malam beserta alam di mana pun. Kau selalu lapar-haus akan puja-puji. Kau selalu menuntut puja-puji manusia, baik dalam kata, irama, lagu maupun tarian. Kau begitu sombong. Kau selalu memamerkan diri, apalagi tatkala engkau sedang berahi. Matamu melotot, terbakar api gairahmu ketika menikmati kegiatan malam. Kau pun telah merasuki orang-orang untuk melakukan kejahatan. Kejahatan malam!”
“Kau teramat angkuh, Nenek tua bangka!” bentak pepohonan. “Mentang-mentang berada di atas, kau merasa dirimu di atas segalanya. Kau selalu mendikte malam beserta alam di mana pun. Kau selalu lapar-haus akan puja-puji. Kau selalu menuntut puja-puji manusia, baik dalam kata, irama, lagu maupun tarian. Kau begitu sombong. Kau selalu memamerkan diri, apalagi tatkala engkau sedang berahi. Matamu melotot, terbakar api gairahmu ketika menikmati kegiatan malam. Kau pun telah merasuki orang-orang untuk melakukan kejahatan. Kejahatan malam!”
“Ah, sudahlah, nggak usahlah kalian memojokkan aku
pada keburukanku.”
“Tidak! Sekarang kami akan mengupas selubung kekejian
dirimu!”
Sang induk malam tampak tersipu-sipu. Memalukan!
Betapa tidak. Saat itu pula para makhluk malam sedang menontonnya, lantaran dia
berada di atas panggung malam. Tubuhnya gembrot di antara kemalasan
kunang-kunang angkasa yang kehabisan minyak. Ia sendiri tak mengerti, kenapa
tiba-tiba hasratnya begitu kuat untuk menyentuh jalan itu. Mungkin lantaran
mantera-mantera sekerumunan manusia bertabur aroma kemenyan dan kembang - kembang.
“Kau menyita jatah istirahat manusia. Kau merusak
tatanan kerja manusia. Kau kejam, Bulan busuk!” sergah pepohonan.
Barangkali benar begitu. Bulan telah merasuki
manusia. Ia membuat manusia menjadi gila kerja. Ia menghasut manusia untuk
mengkhianati matahari. Ia menyihir mata manusia menggerayangi gelap hingga
menguliti gulita. Ia menggelayuti tubuh lelah manusia yang seharusnya terbaring
damai dalam kelegaan guna merajut kesegaran baru Di saat siang manusia tidur
pulas, tapi giliran waktu malam manusia kerja keras. Lembur tak terukur.
Manusia membuka mata ketika gelap, dan menutup mata ketika terang.
Wajah bulan lamat-lamat pucat. Matanya sayu, layu. Ia memelas, berharap pepohonan itu tidak terus-terusan mengeroyok dan menyerbunya dengan sejuta hinaan. Ia mengerti bahwa dirinya adalah seperti apa yang dibongkar oleh pepohonan itu.
Ia pun sadar diri bahwa dirinya sebatang kara di kebisuan samudera malam. Semenjak ia berusaha mematangkan sebutir khuldi untuk mengelabui sepasang moyang manusia, sang surya pun tak sudi lagi bersanding dengannya. Sang surya yang semarak itu selalu menghindar di saat bulan mencuat malu-malu bak perawan dari dusun terpencil. Bahkan, ketika fajar merekah di ufuk timur, sang surya itu pun selalu acuh tak acuh mengusirnya dari kemanjaannya yang tak puas menciumi bumi semalam suntuk.
“Sudah dong, janganlah kalian bersepakat membuat semesta alam raya berpesta menertawai aku. Kasihanilah aku. Berilah aku kesempatan untuk menyentuh jalan legam di bawah sana,” rengeknya sambil mengusap-usap dedaunan, dedahanan dan bebatangan.
“Tidak, wahai Ratu malam tanpa mahkota!” serempak pepohonan menolaknya. Pepohonan kian merapatkan barisan.
Wajah bulan lamat-lamat pucat. Matanya sayu, layu. Ia memelas, berharap pepohonan itu tidak terus-terusan mengeroyok dan menyerbunya dengan sejuta hinaan. Ia mengerti bahwa dirinya adalah seperti apa yang dibongkar oleh pepohonan itu.
Ia pun sadar diri bahwa dirinya sebatang kara di kebisuan samudera malam. Semenjak ia berusaha mematangkan sebutir khuldi untuk mengelabui sepasang moyang manusia, sang surya pun tak sudi lagi bersanding dengannya. Sang surya yang semarak itu selalu menghindar di saat bulan mencuat malu-malu bak perawan dari dusun terpencil. Bahkan, ketika fajar merekah di ufuk timur, sang surya itu pun selalu acuh tak acuh mengusirnya dari kemanjaannya yang tak puas menciumi bumi semalam suntuk.
“Sudah dong, janganlah kalian bersepakat membuat semesta alam raya berpesta menertawai aku. Kasihanilah aku. Berilah aku kesempatan untuk menyentuh jalan legam di bawah sana,” rengeknya sambil mengusap-usap dedaunan, dedahanan dan bebatangan.
“Tidak, wahai Ratu malam tanpa mahkota!” serempak pepohonan menolaknya. Pepohonan kian merapatkan barisan.
***
Bulan berjuang keras menerobos benteng pepohonan. Jalan raya lintas kota yang dipagari oleh barisan pepohonan itu sebetulnya belum selesai diperbaiki. Tampak peralatan pemulusan jalan ditinggalkan teronggok di pinggir jalan. Tak khawatir kalau-kalau dicuri atau dirusak tangan-tangan jahil. Para pekerja perbaikan jalan itu seakan tak peduli dengan barang-barang itu. Padahal harganya tidaklah murah. Pembeliannya pun masih mengemis-ngemis bantuan utang luar negeri.
Bulan berjuang keras menerobos benteng pepohonan. Jalan raya lintas kota yang dipagari oleh barisan pepohonan itu sebetulnya belum selesai diperbaiki. Tampak peralatan pemulusan jalan ditinggalkan teronggok di pinggir jalan. Tak khawatir kalau-kalau dicuri atau dirusak tangan-tangan jahil. Para pekerja perbaikan jalan itu seakan tak peduli dengan barang-barang itu. Padahal harganya tidaklah murah. Pembeliannya pun masih mengemis-ngemis bantuan utang luar negeri.
Sementara suasana jalan itu benar-benar gelap-gulita.
Sedikit kendaraan lalu-lalang. Lampu penerang sepanjang jalan raya itu sudah
lama tidak berfungsi, lantaran sering dijadikan sasaran uji kejituan oleh
anak-anak kecil yang sering bermain ketapel. Dan, penerang alami yang angkuh di
langit itu tengah bersusah-payah membujuk barisan pepohonan yang sangat
disiplin dalam tugas.
Jalan raya lintas kota itu belum seutuhnya siap
mengemban tugas mulianya. Ada bekas lubang yang masih dibiarkan separuh
menganga. Ya, menganga, bagaikan mulut maut yang suatu waktu siap menelan nyawa
orang-orang yang menyenggolnya. Seharusnya ditimbun. Seharusnya. Tapi entah
kenapa dibiarkan, seolah sengaja.
Sebuah sepeda motor mendekati daerah tersebut,
sebab itulah jalan satu-satunya yang menghubungkan antara daerah tinggalnya
dengan kota. Pengendaranya adalah sepasang suami-istri yang telah berusia
setengah baya. Kedua pasutri pulang dari resepsi pernikahan sanak-saudara di
kota.
Malam tenggelam dalam kelam paling dalam. Jalanan
didekap kegelapan tak berujung. Pandangan uzur keduanya pun telah kendur. Tidak
bisa melihat keadaan jalan secara jelas. Lantas, pada saat kendaraan mereka
melaju cukup kencang untuk mengejar waktu yang berpacu, pada saat kendaraan
mereka mengoyak kerubutan kelam, roda menggelinding cepat ke arah lubang yang
menganga tadi. Memang menganganya tidak terlalu dalam. Tapi, lebih dari cukup
untuk menjungkirbalikkan kendaraan roda dua.
Roda kendaraan telah menyerempet bibir lobang. Sang pengemudi terkejut. Sang pengemudi tak mampu berkelit. Kendaraan jadi goyah. Akhirnya, kedua pasutri itu jatuh. Pastilah keduanya terluka parah tak terkira. Pastilah patah-patah dan pecah-pecah.
Namun tak usai sampai patah-patah dan pecah-pecah. Malangnya lagi, dari arah belakang meluncurlah bis antarkota yang melaju kencang. Menghantam, … Akhirnya ….
***
Teriakan puluhan penduduk kampung memenggal kegiatan bulan yang masih saja memohon-mohon pada pepohonan. Jeritan penumpang bis yang ketakutan pun semakin merobek selaput sunyi. Teriakan berbaur jeritan mereka sampai menggugah kelicikan bulan. Dan, sewaktu api yang melumat tubuh bis itu telah menyemburat ke udara, tercenganglah pepohonan dan sang induk malam.
Roda kendaraan telah menyerempet bibir lobang. Sang pengemudi terkejut. Sang pengemudi tak mampu berkelit. Kendaraan jadi goyah. Akhirnya, kedua pasutri itu jatuh. Pastilah keduanya terluka parah tak terkira. Pastilah patah-patah dan pecah-pecah.
Namun tak usai sampai patah-patah dan pecah-pecah. Malangnya lagi, dari arah belakang meluncurlah bis antarkota yang melaju kencang. Menghantam, … Akhirnya ….
***
Teriakan puluhan penduduk kampung memenggal kegiatan bulan yang masih saja memohon-mohon pada pepohonan. Jeritan penumpang bis yang ketakutan pun semakin merobek selaput sunyi. Teriakan berbaur jeritan mereka sampai menggugah kelicikan bulan. Dan, sewaktu api yang melumat tubuh bis itu telah menyemburat ke udara, tercenganglah pepohonan dan sang induk malam.
“Tepat sekali doa-doa itu!” seru batin sang induk
malam teringat sesuatu. Hasratnya yang menggebu tadi lantaran pawai mantera
roh-roh di sekitar jalan itu beberapa magrib lalu sewaktu mereka mengadakan
pemujaan pada bulan. Mantera mereka menyebut-nyebut anggur dan madu. Mantera
mereka menggemakan pesta pora. Mantera mereka mengungkapkan kesetiaan dan ketaatan
mereka kepada sang induk malam, junjungan mereka. Mantera mereka adalah
nyanyian maut kesukaannya. Para pemuja rembulan bersuka ria tak terkira.
Tinggal menerobos kekuatan pepohonan itu, batin bulan.
Oleh karena itu, kali ini ia semakin bersemangat
hendak menerobos benteng-benteng tepi jalan yang rimbun itu. Ia makin
bergelora. Ia menggali lagi akalnya untuk segera bisa mengangkat kelicikan,
lalu bersiap-siap menyelinap diantara kempitan dedahanan, dedaunan serta
bebatangan. Ia sudah dilanda dahaga itu.
Entah dari mana, tiba-tiba angin berhembus.
Lambat-laun menerpa dan menggoyang. Pepohonan jadi sempoyongan. Dedahanan
goyah. Dedaunan panik.
“Berjaga-jaga!” peringatan dedaunan.
“Eratkan ikatan kalian!” komando pokok pohon.
“Ya, ya! Tapi kami kekuatan kami terbatas!” sahut
dedahanan.
Mereka bersusah payah mempertahankan rangkulan
dedahanan mereka. Sayang sekali rangkulan mereka terlepas. Dedaunan
tercerai-berai. Alhasil, bulan memanfaatkan peluang ini.
“Aku berhasil! Aku berhasil! Aku berhasiiiiiiiiiiiiiiiiiiiil!”
teriak lantang sang bulan mencekam malam setelah ia meraupi dirinya dengan
darah beserta serpihan kemalangan pasutri itu. Ia tertawa terbahak-bahak di
singgasananya. Ia mabuk tak terkata. Sebab, tadi-tadinya ia tak mengerti kenapa
harus merengek-rengek.
Sementara keping demi keping daun berguguran di
sekeliling pepohonan yang bungkam dalam duka sekaligus penyesalan paling dalam.
Orang-orang masih melantunkan lagu pujian bagi sang ratu malam yang tengah
berenang riang di genangan darah pasutri itu.
keren banget nih cerita mantap gannn,,lanjutkan,,ehehehehe
BalasHapus